3 cerita berbeda, terpisah, tapi berjalan bersamaan yang dikemas menjadi sebuah film berjudul "Disconnect." Benang merahnya menceritakan tentang bagaimana pengaruh buruk internet
dengan segala hingar bingar dari rupa-rupa social media yang ada di dalamnya.

Pengaruh buruk ini memang telah kian kali terjadi di sekitar kita, dan mungkin juga pernah terjadi pada kalian baik itu menjadi korbannya ataupun pelakunya. Pembobolan kartu kredit, jasa seks online, dan pemalsuan identitas di Facebook yang berujung pada tindakan cyber-bullying.



Film ini menceritakan tiga kelompok manusia yang mengalami dampak buruk dari sisi gelap internet. Ada pasutri yang menjadi korban pembobolan rekening. Ada seorang lelaki penjaja seks on-line komersial yang terjerat suatu hubungan dengan seorang wartawati yang kemudian menjadi ancaman bagi bisnis seks on-line-nya.Ada pula keluarga yang semakin mengalami krisis keharmonisan ketika seorang anak dari keluarga tersebut kemudian menderita parah karena menjadi korban cyber-bullying.

Ketiga cerita diatas ada yang sama sekali terpisah dari cerita yang lainnya namun ada juga yang saling bersinggungan tapi tetap dalam koridor cerita yang berbeda. Semuanya disajikan secara mengalir dan tidak ada bagian yang bahkan dirasa hiperbolik. Karena di dunia nyata pun, kita telah mengetahui bahwa kasus-kasus seperti itu memang pernah terjadi.

Benang merahnya adalah internet dan social media. Sebuah benang merah yang berada dalam premis yang mengusung kehidupan masyarakat global hari ini. Semua yang diceritakan dalam film ini ada dan nyata di sekitar kita. Konflik-konflik disajikan dari awal film ini bercerita, mengalir dengan tempo yang cepat dan tanpa basa-basi. Toh tidak perlu bercerita panjang lebar lagi ketika masalah yang diceritakan ternyata tentang kehidupan yang kini sedang dialami oleh sebagian besar penonton film ini. 

Terus apa yang kita tonton dan nikmati dari film ini? 

Adalah sisa dari bagaimana konflik-konflik itu berujung menjadi puncak konflik yang semakin meruncing dan resolusi-resolusi yang dilakukan oleh masing-masing karakternya yang bisa dibilang berjumlah banyak juga dalam film ini. 

Proses perkembangan karakter yang meskipun berjumlah lumayan banyak tersebut bisa dilakukan dengan baik tanpa menyedot durasi film yang panjang. Semua karakter dimainkan secara apik. Semua terlihat berimbang dan ambil bagian dalam ceritanya masing-masing. Jika harus memilih mana karakter yang dirasa tidak berpengaruh sehingga bisa dihapus dari deretan karakter-karakter yang ada, maka saya memilih tidak satupun.

Endingnya memang tidak begitu saja menuntaskan semua masalah yang sedang dialami oleh para karakter. Tapi percayalah, ini tetaplah ending yang baik. Film yang memiliki ending dengan beberapa adegan slo-mo yang mendebarkan itu tetaplah mampu menyampaikan pesan moralnya dengan baik. Atau paling tidak, mampu mensimulasikan bahwa seperti itu lah akibatnya jika internet disalah-gunakan oleh para penggunanya, tanpa harus mendikte penonton bahwa ini yang baik dan itu yang salah.


Jangan lupa juga bahwa film ini memiliki gambar-gambar yang indah dalam setiap scene-nya. Dari mulai teknis pengambilan gambarnya sampai pemilihan tone warna yang dibuat sesesuai mungkin sehingga mampu menyampaikan perasaan para karakternya dan membawa kita terhanyut dengan suasana yang sedang terjadi di dalam layar film.

Terus apa yang membuat film ini berkesan?

Adalah hal yang sangat menarik ketika kita seakan melihat cerminan diri kita yang menjadikan gadget sebagai bagian dari hidup yang kini sudah tidak bisa lagi dipisahkan. Seperti, tidak pernah lepas dari gadget, baik itu di kantin, di meja makan, bahkan di rumah sakit sewaktu menunggu adik yang terbaring koma pun, gadget tidak pernah lepas dari tangan kita. 


Seperti dalam sebuah potongan adegan dalam film ini. Ketika teman sedang curhat sambil menangis menceritakan adiknya yang sedang koma, alih-alih mendengarkan, dia malah berteriak kegirangan karena mendadak di gadget-nya muncul notifikasi Facebook yang isinya ajakan kencan dari gebetan barunya.